Senin, 12 Juli 2010 | 16:31 JAKARTA - Meskipun
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memerintah Kapolri untuk
mengusut kasus penganiayaan atas aktivis Indonesia Corruption Watch
(ICW), Tama Satrya Langkun, tapi hingga hari ini, pelaku penganiayaan
itu masih belum terungkap.
Informasi awal pengungkapan pelaku
penganiayaan sebenarnya diharapkan muncul dari keterangan TR, pengemudi
mobil Toyota Avanza yang menyaksikan penganiayaan terhadap Tama S
Langkun.
Namun, pria berbadan tegap ini tampaknya belum mau mengungkapkan peristiwa sebenarnya yang ia saksikan malam itu.
Pria misterius itu kembali menemui aktivis ICW Tama S Langkun di RS Asri, Jakarta, kemarin.
Menurut
Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, selain mengaku tidak merasa aman
karena diikuti seseorang, TR juga memberi klarifikasi bahwa dirinya
tidak terlibat dalam kasus penganiayaan Tama.
Dalam pertemuan
sekitar 15 menit di ruang perawatan Tama, TR mengaku tidak aman dan
kini ia tinggal berpindah-pindah setelah sketsa wajahnya digambar
polisi. "Dia merasa sebagai saksi kunci," kata Emerson.
Menurut Emerson, Tama dan rekan-rekan di ICW akan melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), besok (Selasa 13/7).
Sementara
itu, usai menjenguk Tama, Wakil Ketua KPK Mohammad Jasin menyatakan,
penganiayaan terhadap Tama yang melaporkan dugaan rekening mencurigakan
milik perwira Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ke KPK merupakan
salah satu bentuk perlawanan terhadap pemberantasan korupsi.
"Kita dari KPK juga mengalami hal yang sama. Kalau Tama mengalami tekanan fisik, kami dari sisi hukum," kata Jasin.
TR
sendiri mengungkapkan, saat peristiwa penganiayaan Tama terjadi, Kamis
(8/7) dini hari, dia tengah melintas di kawasan Jalan Duren Tiga,
Jakarta Selatan. Namun keterangannya sering kali rancu.
Contohnya,
TR mengaku bahwa saat peristiwa penganiayaan itu terjadi, dia memegang
senjata dan kunci roda. Dia menduga, peristiwa yang terjadi di depannya
itu adalah kecelakaan lalu lintas.
Keterangannya kepada wartawan
sendiri berubah-ubah. Semula dia mengaku diperiksa Sabtu siang di rumah
sakit dari pukul 11.30 hingga 15.30, belakangannya dia mengaku
diperiksa di Mapolres Jakarta Selatan.
Saat peristiwa itu, TR
memberikan tanda lampu jauh kepada para pelaku saat Tama dianiaya. Dia
juga meneriaki pelaku untuk menjauh dari Tama, bahkan dia mengaku
sempat menabrakkan mobilnya kepada para pelaku.
Saat wawancara,
TR beberapa kali menerima panggilan telepon. Dalam percakapan dengan
lawan bicaranya di telepon, TR berkali-kali mengucapkan kata-kata
"Siap, Dan!". Diduga kata-kata itu merujuk kata komandan atau atasan.
Para
pelaku penganiayaan, ujar TR, berjumlah delapan orang. Motornya jenis
untuk laki-laki, Yamaha Scorpio dan Vixion. Tapi, tak ada nomor polisi.
Pagi itu, ungkap TR, Tama dan temannya diapit dua motor. Dua motor lain mengawasi tak jauh dari lokasi.
Menanggapi
pengakuan TR, Kabid Penum Polri Kombes Marwoto Soeto menandaskan,
pihaknya siap melindungi siapa saja yang merasa terancam, termasuk TR,
pengendara Avanza yang menyaksikan penganiayaan Tama.
Marwoto
mengaku belum mengetahui TR dikuntit orang. Tapi, menurut dia, TR tak
perlu merasa takut bila tak bersalah dalam kejadian tersebut.
Marwoto mempersilakan TR melaporkan penguntitan dan minta perlindungan kepada polisi.
Ditanya
apakah TR adalah anggota TNI/Polri mengingat dia mengaku memunyai
senjata, Marwoto mengaku tak mengetahuinya. "TR ini kan statusnya belum
begitu jelas," ujarnya.
Sejumlah kalangan mengusulkan, agar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak hanya mengajukan calon
kepala Kepolisian RI (kapolri) dari kalangan Polri saja, tetapi juga
mengajukan calon alternatif dari non karier Polri.
Usulan ini
disampaikan Ketua DPR, Marzuki Alie, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan,
anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir,
pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin, dan pengamat kepolisian
Bambang Widodo Umar di sela-sela menjelang acara nonton bareng World
Cup 2010 di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Minggu (11/7) kemarin.
Menurut
Nudirman Munir, usulan kapolri dari luar institusi Polri sejalan dengan
keinginan tulus Presiden SBY yang mendambakan kepemimpinan yang lebih
menonjolkan aspek civilization.
Marzuki Ali berpendapat,
berdasarkan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara, calon kapolri
adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif.
UU ini mengikat
agar Presiden dan DPR, menunjuk calon Kapolri dari kalangan Polri.
Namun, lanjut dia, UU itu dapat direvisi asalkan ada keinginan dari
pemerintah untuk diajukan ke DPR.
"Kalau Presiden dan DPR sepakat, bahwa kapolri tidak harus dari karier, maka hal itu mungkin saja dilakukan," ujarnya.
Taufik
Kurniawan menambahkan, bila tak bisa dari jajaran polisi aktif,
purnawirawan yang tidak resisten bisa diandalkan memimpin institusi
Polri. Pengalamannya diharapkan bisa membenahi institusi Polri.
Irman Putra Sidin menilai, aturan calon kapolri harus perwira aktif adalah mengadopsi aturan lama saat Polri di bawah TNI.
Padahal, lanjutnya, Polri telah berubah menjadi alat negara, dan kapolri sejajar dengan KSAD, KSAU, dan KSAL.
Sementara
itu, Presiden menilai, serangan terhadap aktivis ICW Tama Satrya
Langkun semakin menegaskan perlawanan terhadap pemberantasan korupsi
masih berlanjut.
Namun, Presiden menegaskan, gerakan
pemberantasan korupsi harus dilanjutkan dan Polri harus mengusut dengan
sungguh-sungguh hingga tuntas untuk menemukan pelaku penyerangan itu.
Usai
menjenguk Tama di RS Asri, Jakarta, Sabtu (10/7) pekan lalu, Presiden
menyatakan, semua pihak harus ikut bersinergi dalam pemberantasan
korupsi ini.
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia juga mendesak Polri agar mengungkap
pelaku teror terhadap Tama. (*)