|
Aksi demo di Kejati Banten
|
Jum'at, 23 Juli 2010 | 14:42
SERANG - Merayakan hari jadinya yang ke-50, atau yang dikenal Hari
Bhakti Adhyaksa, pada Kamis (22/7), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten
masih menampakan ketidak seriusannya dalam melakukan penegakan hukum
(Gakum).
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten,
menargetkan akan mengungkap sebanyak 42 kasus tindak pidana korupsi di
Provinsi Banten.
Namun ketika ditanya sejumlah kasus korupsi yang
status hukumnya hingga kini tak jelas alias ngambang dan SP3, pihak
Kejati Banten nampak tak bergeming.
"Yang jelas, kami memiliki
agenda untuk mengungkap 42 kasus korupsi, dan itu bukan kasus lama, atau
SP3. Karena membuka kasus lama, kami harus membuka data dulu,"ujar
Asisten Intelejen (Asintel) Kejati Banten, Diky R Rahardjo, Kamis
(22/7).
Ketika ditanya apakah 42 kasus yang ditargetkan itu,
merupakan kasus korupsi sebagaimana dalam laporan BPK, Diky juga
menyatakan, hingga kini pihaknya mengaku masih melakukan pencarian data
salinan LHP, oleh karena itu belum bisa memastikannya.
"Kami
belum bisa memastikan. Jumlah itu merupakan target, mudah-mudahan bisa
tercapai," tambahnya.
Lebih jauh ia menuturkan, hingga Juli
2010, Kejati dan enam Kejaksaan Negeri (Kejari) di wilayah Provinsi
Banten, baru bisa mengungkap sebanyak 29 kasus korupsi dari puluhan
kasus yang kini ditangani.
Sebanyak 29 kasus yang telah selesai
kami tangani ini, dalam tahap Penuntutan. Untuk kasus korupsi yang
ditangani pada tingkat penyidikan, jumlahnya sebanyak 19 kasus, dan
ditingkat penyelidikan sebanyak 17 kasus.
"Kami harap pada akhir
tahun 2010 ini target pengungkapan kasus korupsi bisa tercapai,” tegas
Diky.
Lebih lanjut Diky menyatakan, dari Januari hingga Juni
2010, Kejati Banten telah menghasilkan pendapatan bukan pajak yang
besarnya hingga Rp1,715 miliar.
Pendapatan bukan pajak ini, kata
Diky dihasilkan dari penanganan perkara, tilang, sewa rumah dinas, uang
pengganti kasus korupsi dan lainya.
"Uang pendapatan bukan
pajak itu, salah satunya disita dari terdakwa korupsi,” katanya.
Sementara
itu, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Banten, Mukri, mengatakan
salah satu kasus yang ditanganinya dan saat ini, masih dalam tahap
penyelidikan, yaitu kasus Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pendidikan.
Untuk
mengungkap kasus DAK itu, Kejati masih menunggu hasil audit badan
pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP). Menurutnya, setiap jaksa
yang melakukan pengungkapan kasus diwajibkan untuk menyertakan ahli.
"Kenapa
dalam pengungkapan kasus itu lama, karena kita memerlukan adanya saksi
ahli dalam setiap pembuktian,” tegas Mukri.
Sementara itu,
Direktur Banten Corruption Watch (BCW) Provinsi Banten, Teguh Iman
Prasetya, menilai di usianya yang ke-50, posisi penegakan hukum di
wilayah Banten malah semakin menampakan ketidakseriusan pejabatnya.
Selain
Kejati Banten masih royal menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian
penyidikan) kasus korupsi, juga tak ada upaya Kejati
membuka kasus
yang tak jelas status hukumnya.
"Banyak kasus korupsi di Banten
yang telas status hukumnya, kenapa pejabat Kejati yang sekarang tak
mencari tahu. Penilaian saya, penegakan hukum di Banten malah semakin
tak tegas,"kata Teguh, Kamis (22/7).
Ia menyebutkan, sejumlah
kasus Alkes 2006 sekaligus 2009, PKBM Piktif, dan
lahan KP3B,
Kubangsari, dan JLS di wilayah Kota Cilegon, merupakan salah satu contoh
kasus yang hingga kini tak jelas, alias Kejati kerap menghamburkan SP3.
Bahkan hingga kini, meski pejabat Kejati baru, namun malah
semakin lamban penegakan hukum di wilayah Banten.
"Di usia yang
ke-50 ini, Jaksa Agung harus memiliki gebrakan. Reformasi besar-besaran
harus dilakukan di tubuh kejaksaan hingga ke daerah-daerah,"tandasnya.
(yus)