Senin, 5 Juli 2010 | 19:25 SERANG - Dari total peyimpangan yang terindikasi merugikan daerah senilai Rp 13 miliar, hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporan keuangan Pemprov Banten Tahun 2009, penyimpangan anggaran paling besar terjadi di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, senilai Rp 5,2 miliar berupa kemahalan harga pada pengadaan alat kesehatan untuk pelayanan kesehatan rujukan dan khusus.
Data yang diperoleh dan dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, menyebutkan bahwa penyimpangan itu terjadi karena kelalaian Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan.
Penyimpangan yang sama juga terjadi di Dinas Pendidikan, berupa kemahalan harga pada pengadaan alat teknik permesinan pada kegiatan pengadaan alat peraga/praktek senilai Rp 367,1 juta.
BPK juga menemukan penyimpangan, berupa kelebihan perhitungan penyesuaian harga sebesar Rp 164,4 juta, dan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 250, 2 juta pada proyek pembangunan Masjid Raya di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), yang dilaksanakan Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten. Juga terjadi penyimpangan yang sama pada 13 proyek pembangunan jalan akses sentra produksi KPP, senilai Rp 338, 1 juta.
Selain itu, ditemukan pula penyimpangan di Biro Umum dan Perlengkapan, yang realisasi belanja pemeliharaan melebihi standar harga satuan mencapai Rp 551,9 juta, dan penyimpangan di Badan Diklat pada proyek pengadaan peralatan kantor yang pembayarannya melebihi prestasi, sehingga dapat merugikan daerah senilai Rp 38,6 juta.
Selain itu, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) juga tak luput dari penyimpangan yang terindikasi merugikan daerah sebesar Rp 17,5 miliar, pada proyek pembangunan rumah pompa dan instalasi balai benih ikan tawar senilai Rp 50,3 juta pada proyek pembangunan talud di pelabuhan perikanan pantai Labuan.
Di Sekretariat DPRD Banten, ditemukan satu kasus, yakni masih ada sisa tunggakan pengembalian dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) anggota DPRD Banten periode 2004-2009, senilai total Rp 213.175.000, dan biaya penunjang operasional pimpinan (BPOP) sebesar Rp 24,4 juta.
Penyimpangan administratif juga tampak seperti di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD), antara lain keterlambatan bendahara pengeluaran mengembalikan sisa upah pungut tahun anggaran 2009 ke kas daerah senilai Rp 766,8 juta, juga belum dikenakan denda atas keterlambatan pembayaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), dan penyampaian surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD), sebesar Rp 143,5 juta, dan belum menerima setoran pajak terutang sebesar Rp 607,7 juta.
Terkait sejumlah temuan ini, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah menyatakan akan terus melatih.
"Kita akan terus melatih dan membina seluruh pejabat eselon IV terkait pengelolaan keuangan ini,” katanya kepada wartawan.
Atut menambahkan, pelatihan dan pembinaan pejabat eselon IV tersebut, diyakini mampu membawa Pemprov Banten meraih penilaian wajar tanpa pengecualiaan (WTP), dan tidak perlu menarik pegawai BPK untuk bekerja di Pemprov seperti yang disarankan Komisi III DPRD Banten.
"Pelatihan dan pembinaan yang kita berikan kepada pejabat eselon IV juga melibatkan pegawai BPK,” ujar Atut.
Dihungi terpisah, Sekda Banten, Muhadi saat dikonfirmasi perihal temuan ini hanya menjawab singkat. "Sedang proses tindak lanjut,” kata Muhadi dalam pesan singkat yang dikirim melalui ponsel.
Sementara Kepala Dinkes Provinsi Banten, Djaja Budhi Suhardja yang dihubungi melalui telepon genggam, tidak aktif.
Saat dihubungi kemarin, di nomor 081320622xxx sekira pukul 19.59, 081382096xxx pukul 21.02 WIB, 081381469xxx pukul 21.03 WIB, dan 087871301xxx pukul 21.48 WIB, semuanya dalam mailboks.
Begitu juga saat dihubungi, Sekretaris Dinkes Provinsi Banten, Drajat Ahmad Putera melalui nomor 081219307xxx sekira pukul 21.02 WIB, dan 087871249xxx sekira pukul 21.04 WIB, juga dalam keadaan tidak aktif. (yus)