Jum'at, 30 Juli
2010 | 13:43
CILEGON - Terkait kasus korupsi honorarium ganda yang merugikan negara
sekitar Rp2,02 miliar, empat mantan anggota DPRD Kota Cilegon periode
2004-2009, dimintai keterangan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Cilegon,
Provinsi Banten, Kamis (29/7).
Sehari sebelumnya, Rabu (28/7),
empat pejabat Kota Cilegon terkait kasus dugaan korupsi honorarium
ganda, dimintai keteranganya sebagai saksi.
Mereka adalah,
Kepala Bappeda, Bambang Prayogo, Mantan Asda I, Syamsul Rizal, mantan
Kabag Persidangan DPRD Kota Cilegon, Sulhi, dan mantan Bendahara Sekwan
Cilegon, Sri Wahyuningsih.
Adapun empat pejabat itu dimintai
keterangannya sebagai saksi untuk tersangka tiga mantan Pimpinan DPRD
Cilegon, yakni Fathullah Syamun, Dimyati Abu Bakar, dan Bahri Syamsu
Arief, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Cilegon
karena terlibat dalam pencairan honorarium ganda yang diterima oleh
seluruh Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Cilegon Periode 2004-2009 dengan
kerugian Negara sebesar Rp2,02 miliar lebih.
Kasi Pidsus Kejari
Cilegon, Dwianto Haineman menegaskan, pihak Kejari akan terus melakukan
pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang terlibat dalam Panitia Anggaran
Eksekutif (PAE).
"Total saksi yang akan kita periksa ada 24
orang,” ungkapnya. Adapun hari ini (Kamis 29/7), yang kita mintai
keterangannya, adalah mantan anggota Dewan. Kalau kemarin, yang kita
mintai keterangan dari eksekutif yang terlibat dalam pencairan dan
proses honorarium ganda.
Adapun empat mantan anggota DPRD yang
dimintai keterangan Kamis (29/7), yakni Epi Azhari (Fraksi PAN), Nawai
Hasyim (Fraksi PPP), Abdullah Syarif (Fraksi PPP), dan Ahmad Asghori
(Fraksi PKB).
"Materinya untuk melengkapi berkas. Untuk hasilnya,
nanti kita sampaikan dalam pengadilan,"terangnya.
Ditemui usai
memberikan keterangannya di Kejari Cilegon, Abdullah Syarif mengatakan,
dimintai keterangan sebanyak 40 pertanyaan oleh penyidik, dan semuanya
proses pencairan honorarium katanya telah menyalahi Peraturan Pemerintah
Nomor tahun 2004.
Dia mengakui, honorarium yang diterima oleh
seluruh anggota DPRD Kota Cilegon tahun 2005 dan 2006, hanya satu tahun
yang disarankan BPK untuk dikembalikan.
"Saya terima honor tahun
2006 sebesar Rp22.440.000, sedangkan tahun 2005 Rp28.000.000. Dan tahun
2005 itu yang tidak dikembalikan ke kas daerah," kata dia.
Alasan
dia tidak mengembalikan, karena tidak ada alasan. Sementara
pertimbangan tidak mengembalikan, karena tidak ada saran dari BPK agar
dikembalikan ke kas daerah.
Diketahui, sejumlah pejabat eksekutif
telah dimintai keterangan oleh penyidik. Rencananya, dalam waktu dekat
penyidik juga akan nenghadirkan saksi ahli dari Universitas Indonesia.
Ditambahkannya,
sejauh ini para pejabat itu cukup kooperatif saat dimintai
keterangannya. "Sejumlah dokumen juga kami dapat dari mereka. Dokumen
itu sebagai pelengkap dari data-data yang sudah kami dapatkan,”katanya.
Rencananya,
dalam kasus yang menjerat mantan pimpinan wakil rakyat itu, tambah
Dwianto, Kejari Cilegon akan meminta keterangan 15 saksi yang semuanya
berasal dari pejabat pemerintah di Kota Cilegon. Ketika
disinggung terkait kemungkinan melakukan penahanan atas ketiga
tersangka, Dwianto yang didampingi jaksa penyidik, Marolop Pandiangan,
menuturkan penahanan belum perlu dilakukan.
"Kami belum berencana
menahan mereka. Saat ini kita masih mengumpulkan kelengkapan alat bukti
dulu. Setelah itu baru kita pikirkan,” ujarnya seraya menambahkan bahwa
Kejari tidak khawatir para tersangka itu akan menghilangkan barang
bukti dan melarikan diri.
Untuk diketahui, kasus korupsi
honorarium ganda itu, sudah menjerat mantan Sekeratris Dewan (Sekwan)
Kota Cilegon, Haryoto.
Dalam proses persidangannya beberapa
waktu lalu, Haryoto divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri (PN) Serang dengan hukuman satu tahun enam bulan kurungan. (yus)
|
| -
|
|