Polda Lamban Tangani Alkes 2009, Terkait Kerugian Terbesar dalam LHP BPK 2009
2010-07-06, 4:52 PM
Selasa, 6 Juli 2010 | 19:50 SERANG
- Kepolisian Daerah (Polda) Banten, dinilai lamban menangani kasus
pengadaan alat-alat kesehatan (Alkes) 2009 senilai Rp44 miliar.
Diketahui,
sejak penyelidikan di mulai awal bulan Juni lalu, hingga kini belum
juga ada tanda-tanda digelar perkara oleh kepolisian setempat. Padahal
dari kasus tersebut puluhan orang sudah dimintai keterangan terkait
masalah ini.
"Ketika pepnyelidikan diundur hingga 26 Juli ini,
saya hanya bisa tertawa. Ada apa dibalik ini? Kenapa bisa memakan waktu
selama itu. Padahal dari puluhan orang termasuk penyedia barang dan
jasa yang sudah diperiksa, seharusnya Polda sudah bisa menyimpulkan
kapan akan digelar perkaranya,"ujar Direktur Foksad, Hafidz E Mukri,
Selasa (6/7).
Hafidz yang juga sebagai pelapor terkait kasus tersebut menyatakan, telah dimintai keterangan polisi lebih dari dua kali.
Berdasarkan
kajian dan data yang dia miliki, pada kasus Alkes 2009 ia menilai telah
terjadi penyalahgunaan kebijakan dan menyalahi UU Nomor 32/2004.
Tak
hanya itu, bahkan tender pengadaan Alkes tersebut dinilai
un-prosedural, tidak melalui lelang resmi. Bahkan sejumlah item Alkes
2009 itu juga telah terjadi mark-up harga.
"Hal ini sejalan
dengan isi LHP BPK 2009, Dinkes paling besar melakukan penyelewengan
sehingga merugikan daerah sebesar Rp5,2 M, tepatnya pengadaan Alkes;
Karena selisih atau mark-up harga,"ujar Hafidz seraya menambahkan, RSUD
Malimping hingga kini belum mendapatkan sembilan item Alkes sebagai
alokasi dalam pengadaan Alkes tersebut.
Direktur Resimen dan
Kriminal (Direskrim), AKBP Joko Suhariyadi ketika dikonfirmasi Selasa
(6/7) mengatakan, pihaknya harus berhati-hati dalam menangani sebuah
kasus, terlebih kasus yang kategori cukup besar.
Hal ini tak ada tendensi lain, selain keadilan hukum bagi pelapor dan terlapor.
"Kita
memang undur hingga 26 Juli untuk pelidikan kasus ini (Alkes,red). Kita
tidak bisa terburu-buru, jika memang kita merasa masih kurang
keterangan dan sejumlah alat bukti, kenapa harus kita paksakan ke gelar
perkara,"ujar Joko.
Joko membenarkan, jika pemeriksaan terkait
kasus ini sudah menghadirkan puluhan saksi, namun ia menyangkal, jika
pemeriksaan sudah masuk dalam penyedia barang dan jasa.
"Masih sekitar prosedur dan mekanisme tender. Kita belum ke penyedia barang dan jasa," terangnya.
Sementara,
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, Djaja Budi Suharja
saat dikonfirmasi di Gedung DPRD, Selasa (6/7), berkilah kalau Dinkes
paling besar melakukan penyimpangan dari LHP BPK RI sebesar Rp13,08
miliar.
"Ya, itu kalau belum dikembalikan. Tapi kan sudah
dikembalikan," kilah Djaja seraya enggan menyebut nominal kerugian yang
dikembalikan pihaknya.
Sementara terkait pemeriksaan yang tengah
dilakukan Polda Banten terhadap kasus Alkes, ia mengaku, hingga kini
belum ada panggilan atas dirinya.
Ia menyatakan, kasus Alkes hanya persoalan, pada uang muka sebesar 30 persen kepada para pemenang tender. Ketika
ditanya belum diterima Alkes 2009 ke RSUD Malimping, ia membantah.
"Saya taruhannya, kalau itu belum diserahkan ke RSUD Malimping, biar
Pak Jana saya telpon," katanya setengah teriak.
Diketahui,
pemenang tender Alkes tahun 2009 di lingkup Dinkes Banten yakni, PT
Dini Contractor, dengan nilai kontrak Rp12.837.500.000.
Selanjutnya
tender dengan nilai kontrak Rp15.094.550.000 dimenangkan PT Kidemang
Putra Prima, dan PT Profesional Indonesia Lantera Raga dengan nilai
kontrak Rp16.521.449.000.
Dari hasil penelusuran wartawan,
diketahui PT Profesional Indonesia Lentera Raga atau Pilar, merupakan
perusahaan milik Tatu Chasanah, adik Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah, yang juga mantan salah satu pimpinan DPRD Banten.
Saat
ini, Tatu merupakan Wakil Bupati Kabupaten Serang terpilih pada
Pemilukada 9 Mei 2010 lalu, berpasangan dengan Bupati Taufik Nuriman.
Sementara PT Kidemang Putra Prima, adalah milik Iyus Supriatna, adik anggota DPR RI dari Partai Golkar, Mamat Rahayu.
Iyus adalah sahabat karib adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yaitu Chaeri Wardhana. (yusvin karuyan)